BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa adalah suatu alat
yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan, pikiran dan kemauan kita kepada
orang lain. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi baik dalam bentuk lisan
maupan tulisan. Dalam bentuk tulisan, bahasa dilambangkan dengan
lambang-lambang yang disebut dengan huruf yang secara sengaja diciptakan untuk
membantu mempermudah manusia mengkomunkasikan apa ingin disampaikan kepada
orang lain. Sedangkan dalam bentuk lisan berupa bunyi yang diutarakan dalam
bentuk kata dan kalimat padu sehingga dapat diterima oleh pendengar.
“Pergunakanlah bahasa
Indonesia yang baik dan benar!” Ungkapan itu sudah klise sebab kita sudah
sering mendengar ataupun membacanya, bahkan membicarakan dan menuliskan ungkapan
tersebut. Akibatnya, kita dapat bertanya “Apakah penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar belum dicapai saat ini? Apakah penggunaan bahasa Indonesia
saat ini belum baik dan benar?”
Analisis kesalahan berbahasa
adalah salah satu cara untuk menjawab pertanyaan tersebut. Melalui analisis
kesalahan berbahasa, kita dapat menjelaskan penggunaan bahasa Indonesia yang
baik dan benar dan mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya
kesalahan dalam berbahasa. Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia
yang memenuhi faktor-faktor komunikasi. Adapun bahasa Indonesia yang benar
adalah bahasa Indonesia yang memenuhi kaidah-akidah (tata bahasa) dalam
kebahasaan. Dalam makalah ini akan dipaparkan kesalahan berbahasa dalam tataran
fonologi, morfologi, semantik dan sintaksis.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
faktor-faktor peyebab kesalahan berbahasa?
2. Bagaimana
taksinomi kesalahan berbahasa?
3. Bagaimana kesalahan berbahasa dalam
tataran fonologi?
4. Bagaimana kesalahan berbahasa dalam
tataran morfologi?
5. Bagaimana kesalahan berbahasa dalam
tataran semantik?
6. Bagaimana kesalahan berbahasa dalam
tataran sintaksis?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui faktor-faktor peyebab kesalahan berbahasa.
2.
Menjelaskan taksinomi kesalahan berbahasa.
3.
Menjelaskan kesalahan berbahasa
dalam tataran fonologi.
4.
Menjelaskan kesalahan berbahasa
dalam tataran morfologi.
5.
Menjelsakan kesalahan berbahasa
dalam tataran semantik.
6.
Menjelaskan kesalahan berbahasa
dalam tataran sintaksis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor
Penyebab Kesalahan Berbahasa
Dalam
proses berkomunikasi perlu menggunakan bentuk kata dan pelafalan yang
tepat. Namun, pada
realitanya banyak sekalai terjadi kesalahan berbahasa. Khususnya dalam kegiatan
belajar mengajar yang seharusnya menjadi suatu bentuk media dalam pengembangan
bahasa yang baik dan benar justru menjadi tempat yang memiliki tingkat
kesalahan berbahasa yang tinggi dan yang lebih parah yakni sampai “salah
kaprah”. Dalam kegiatan belajar mengajar terdapat lima faktor penyebab
kesalahan berbahasa (Tarigan,1997) yakni:
1.
kurikulum,
2.
guru,
3.
pemilihan bahan ajar,
4.
pendekatan,
5.
pengajaran bahasa yang kurang tepat.
B. Taksonomi Kesalahan Berbahasa
Burt, Dulay, maupun Krashen (1982)
membedakan wilayah (taksonomi)
kesalahan berbahasa menjadi kesalahan atau kekhilafan:
1. taksonomi kategori linguistik;
2. taksonomi kategori strategi
performasi;
3. taksonomi kategori komparatif;
4. taksonomi kategori efek komunikasi.
Taksonomi
kategori linguistik membedakan kesalahan berdasarkan komponen bahasa dan konsisten
bahasa. Berdasarkan komponen bahasa, wilayah
kesalahan
dibedakan menjadi:
1.
kesalahan tataran fonologi,
2.
kesalahan tataran morfologi,
3.
kesalahan tataran sintakis
dan semantik.
Dalam
kategori strategi performasi, tataran kesalahan bahasa dapat dibedakan menjadi 4 (empat)
kesalahan. Berikut adalah keempat kesalahan
kategori
strategi performasi:
1.
Penanggalan
(omission), penutur bahasa menanggalkan satu atau lebih unsur-unsur bahasa
yang diperlukan dalam suatu frase atau kalimat. Akibatnya terjadi penyimpangan konstruksi
frase atau kalimat.
2. Penambahan (addition),
penutur bahasa menambahkan satu atau lebih unsur-unsur bahasa
yang tidak diperlukan dalam suatu frase atau kalimat. Akibatnya terjadi penyimpangan konstruksi
frase atau kalimat.
3. Kesalahbentukan
(misformation), penutur membentuk suatu frase atau kalimat yang tidak sesuai kaidah bahasa
itu. Akibatnya konstruksi frase atau kalimat
menjadi
salah (penyimpangan) kaidah bahasa.
4. Kesalahurutan (misordering),
penutur menyusun atau mengurutkan unsur-unsur bahasa
dalam suatu konstruksi frase atau kalimat di luar kaidah bahasa itu. Akibatnya frase atau kalimat
itu menyimpang dari kaidah bahasa.
Berdasarkan
taksonomi komparatif, kesalahan dibedakan menjadi empat tataran kesalahan. Berikut adalah
keempat jenis kesalahan berdasarkan
taksonomi
komparatif.
1.
Kesalahan interlingual disebut juga kesalahan interferensi, yakni: kesalahan yang bersumber (akibat) dari
pengaruh bahasa pertama (B1) terhadap bahasa
kedua
(B2).
2. Kesalahan
intralingual adalah kesalahan akibat perkembangan.
3. Kesalahan
ambigu adalah kesalahan berbahasa yang merefleksikan kesalahan interlingual dan intralingual.
4.
Kesalahan unik adalah kesalahan bahasa yang tidak dapat dideskripsikan berdasarkan tataran kesalahan
interlingual dan intralingual.
Berdasarkan
kategori efek komunikasi, kesalahan bahasa dapat
dibedakan menjadi dua, yakni:
1. kesalahan
lokal adalah kesalahan konstruksi kalimat yang ditanggalkan (dihilangkan) salah satu unsurnya,
2. kesalahan
global adalah tataran kesalahan
bahasa yang menyebabkan seluruh tuturan atau isi yang dipesankan dalam berkomunikasi, baik lisan
maupun tulis, menjadi tidak dapat dipahami.
C. Analisis Kesalahan Berbahasa dalam Bidang Fonologi
Dalam proses berkomunikasi perlu
menggunakan bentuk kata dan pelafalan yang tepat. Sehingga, kita harus
mengerti apa itu fonologi?
Fonologi
merupakan salah satu cabang dalam ilmu bahasa yang membahas bunyi bahasa yang digunakan
dalam proses berkomunikasi. Tarigan dan Suliastianingsih (1998) mengemukakan
bahwa kesalahan berbahasa dalam bidang fonologi meliputi perubahan pengucapan
fonem, penghilangan fonem, penambahan fonem,
perubahan
bunyi diftong menjadi bunyi tunggal dan pemenggalan kata.
Kesalahan-kesalahan
berbahasa dalam bidang fonologi tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Perubahan
pengucapan fonem
contoh:
Pelafalan
fonem /e/ diubah menjadi /E/
Kata-kata yang berfonem
/e/ (e = enam) seperti senter, lafal bakunya /sEnter/ (E=ekor) Namun,
karena faktor pengaruh bahasa daerah (Bugis) yang “biasa” menyebut kata
/sEntErE/, maka kata senter dilafalkan /sEntEr/. Contoh kata lain:
kalender, meter, liter.
2.
Penghilangan fonem
contoh:
Fonem
/h/ dihilangkan / /Fonem /h/ pada kata hilang seharusnya dilafalkan /h/
atau tidak dihilangkan. Penghilangan pelafalan /h/ seperti pada kata hilang.
Contoh lain:hijau, pahit, tahu, haus dan hembus.
3.
Penamabahan fonem
contoh:
Penambahan fonem /h/ pada awal atau
akhir kata. Pelafalan
kata gaji, biji dan andal
seharusnya
tidak ditambah /h/. Penambahan pelafalan /h/ seperti pada kata gaji, biji dan andal,
di depan atau pada akhir kata, biasa pula dijumpai dalam proses komunikasi
situasi resmi. Contoh lain: alangan, imbau, silakan.
4.
Perubahan bunyi diftong menjadi bunyi tunggal
contoh:
Kata
kalau diucapkan kalo
menunjukkan
bahwa kesalahan berbahasa itu disebabkan bunyi diftong /au/ diucapkan sebagai /o/.
5.
Pemenggalan kata
contoh:
Salah
Seharusnya
ma-ndi
man-di
so-mbong
som-bong
swa-sta
swas-ta
ca-plok
cap-lok
A-pril Ap-ril
D.
Analisis
Kesalahan Morfologi
Badudu
(1976:15) mengemukakan bahwa “morfologi adalah ilmu bahasa yang mebicarakan
morfem dan bagaimana morfem itu dibentuk menjadi sebuah kata”. Morfem terbagi
atas tiga macam, yakni morfem bebas, morfem terikat, dan morfem unik. Kaitannya dengan keperluan
analisis kesalahan berbahasa dalam bidang morfologi, menurut Badudu (1982) dan
Tarigan dan Sulistyaningsih (1979) terbagi atas tiga kelompok: (a) kesalahan
afiksasi, (b) kesalahan reduplikasi, (c)
kesalahan pemajemukan.
1.
Kesalahan bidang afiksasi.
Kesalahan
berbahasa dalam bidang afiksasi antara lain :
a. Afiks yang luluh, tidak diluluhkan
Kaidah afiksasi awalan
meN- manakala memasuki kata dasar yang dimulai huruf t, s, k, p harus luluh
menjadi men-, meny-, meng-, dan mem-. Misalnya: mentabrak, mempahat, dan mempabrik.
b. Afiks
yang tidak luluh, diluluhkan
Afiks meN- memasuki kata
dasar yang dimulai huruf kluster seperti transmigrasi dan prosentase tidak
luluh. Misalnya : mentrasmigrasikan dan memprosentasekan.
c. Morf
men- disingkat n
Narik merupakan
contoh kata dasar nonbaku yang muncul dari pengaruh kesalahan afiksasi, dari
kata tarik lalu mendapat awalan meN-, menjadi kata menarik.
d. Morf meny- disingkat ny
Nyampakan,
bukanlah kata dasar yang baku, karena muncul dari pengaruh kesalahan afiksasi dari
kata sampai mendapat awalan meN-, menjadi kata berimbuhan menyampaikan.
Selanjutnya, dalam proses berkomunikasi hanya meng-gunakan nyampai atau nyampaikan
padahal seharusnya menyampaikan.
e. Morf
meng disingkat ng
Ngoreksi, bukanlah
kata berimbuhan baku, karena muncul dari pengaruh kesalahan afiksasi alomorf meng-,
dari kata koreksi lalu dimasuki awalan meN-, menjadi kata
berimbuhan mengoreksi. Selanjutnya, dalam proses berkomunikasi hanya
menggunakan ngoreksi padahal seharusnya mengoreksi.
f.
Morf menge-
disingkat nge-
Ngebom, bukan
kata dasar baku, karena muncul sebagai akibat kesalahan afiksasi alomorf menge-,
dari kata dasar bom lalu dimasuki awalan meN-, menjadilah kata berimbuhan
mengebom. Selanjutnya, dalam proses berkomunikasi masyarakat hanya
menggunakan ngebom padahal seharusnya mengebom.
2.
Kesalahan Morfologis Segi Reduplikasi
Salah
satu betuk kesalahan morfologis dalam segi redukplikasi adalah perulangan
bentuk dasar , misalnya ngarang-mengarang. Bentuk perulangan tersebut
berdasar dari kata asal karang lalu mendapat awalan meN- menjadilah mengarang.
Selanjutnya, kata dasar mengarang mengalami proses reduplikasi ngarang-
mengarang, yang semestinya karang-mengarang.
3.
Kesalahan Morfologis Segi Proses Pemajemukan
a. Kata
majemuk yang seharusnya disatukan tetapi dipisahkan
Kata majemuk yang
ditulis terpisah seperti pasca panen, ekstra kurikler, adalah
kata majemuk yang nonbaku. Kata tersebut semestinya ditulis serangkai
seperti pascapanen dan ekstrakurikuer. Karena kata-kata: pasca,
ektra, antar , infra, intra, anti, panca, dasa, anti, pra, proto,
mikro, maha, psiko, ultra, supra, para, dan sebagainya adalah kata-kata
yang harus ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
b. Kata
majemuk yang seharusnya dipisahkan tetapi disatukan
Kata majemuk yang
ditulis serangkai seperti ibukota, anakasuh, kepalakantor, butahuruf,
hakcipta, jurumasak adalah contoh kata majemuk yang semestinya
ditulis terpisah seperti ibu kota, anak asuh, kepala kantor, buta
huruf, hak cipta, juru masak. Karena, kedua kata tersebut masing-masing adalah
kata dasar yang tergolong morfem bebas.
E. Analisis Kesalahan Sintaksis
Tarigan
dan Sulistyaningsih (1979) danSemi (1990) mengemukakan bahwa kesalahan berbahasa
dalam bidang sintaksis meliputi: kesalahan frasa, kesalahan klausa, dan
kesalahan kalimat. Adapun rincian
kesalahan setiap aspek tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Kesalahan bidang frasa
a. Pengunaan kata depan tidak tepat
Beberapa
frasa preposisional yang tidak tepat karena
mengunakan
kata depan yang tidak sesuai. Hal ini pengaruh dari bahasa sastra atau bahasa media
masa, misalnya:
di
masa seharusnya pada masa itu
di
waktu itu seharusnya pada waktu itu
b.
Penyusunan frasa
yang salah struktur
Sejumlah
frasa kerja yang salah karena strukturnya yang tidak tepat karena kata keterangan atau
modalitas terdapat sesudah kata kerja. Misalnya:
belajar sudah seharusnya sudah
belajar
c.
Penambahan yang terdapat
dalam frasa benda (B+S)
Frasa
benda yang mempunyai struktur kata benda + kata sifat tidak memiliki perantara kata penghubung “yang”. Misalnya:
petani
yang muda seharusnya petani muda
polisi yang hebat seharusnya polisi hebat
d.
Penambahan kata dari
atau yang dalam
Frasa Benda (B+B)
Frasa
benda yang memiliki struktur kata benda + kata benda, tidak diperantarai kata penghubung yang atau dari, karena tanpa kata dari sudah menunjukkan asal. Contoh:
gadis
dari Bali seharusnya gadis Bali
pisang
dari Ambon seharusnya pisang Ambon
e.
Penambahan kata kepunyaan
dalam Frasa Benda (B+Pr)
Frasa
benda yang mempunyai struktur kata benda + kata pronomina tidak diperantarai kata penghubung milik
atau kepunyaan, karena tanpa kata itu sudah
menunjukkan kepunyan posesif.
Misalnya:
Destar kepunyaan
ibu seharusnya destar - ibu
Golok milik Rio seharusnya golok
- Rio
f. Penambahana
kata untuk dalam frasa Kerja
(K
pasif + K lain)
Frasa
kerja yang mempunyai struktur kata kerja pasif + kata kerja aktif tidak
diantarai kata seperti untuk supaya
makna yang ditunjuk tampak jelas. Misalnya:
dituduh untuk membunuh seharusnya dituduh membunuh
g. Penghilangan
kata yang dalam Frasa Benda (Benda+yang+K pasif)
Frasa
benda yang mempunyai struktur kata benda + kata kerja pasif memerlukan kata yang untuk memperjelas makna frase tersebut.
Misalnya :
Taman
kucinta seharusnya taman yang kucinta
h. Penghilangan
kata oleh dalam Frasa Kerja Pasif (K pasif+oleh+B)
Frasa
yang berstruktur dimulai dari kata kerja pasif + kata benda seharusnya tidak
dihilangkan kata oleh atau perlu ada kata oleh diantaranya untuk
memperjelas makna pasif frase tersebut. Misalnya :
diminta ibu seharusnya diminta oleh ibu
dinasihati kakak seharusnya dinasihati oleh kakak
i. Penghilangan
kata yang dalam frasa Sifat
(yang
+paling +sifat)
Frasa sifat yang dimulai kata paling, seharusnya diawali kata yang. Misalnya:
paling
besar seharusnya yang paling besar
paling tinggi seharusnya yang paling tinggi
2. Kesalahan bidang klausa
a. Penambahan preposisi di antara kata
kerja dan objeknya dalam klausa aktif
Dalam
klausa aktif seharusnya antara kata kerja dan objeknya tidak diperantarai modalitas atau
kata keterangan tertentu. Misalnya:
Rakyat
mencintai akan pimpinan yang jujur.
seharusnya
Rakyat
mencintai pimpinan yang jujur.
b.
Penambahan kata
kerja bantu dalam klausa ekuasional
Dalam
klausa ekuaional atau nominal, kata kerja bantu adalah tidak perlu ada di antara subjek dan predikat Misalnya:
Nenekku
adalah dukun. seharusnya Nenekku
dukun.
c.
Pemisahan pelaku
dan kata kerja dalam klausa aktif
Dalam
klausa aktif, kata modalitas semestinya tidak ada di antara subjek dan predikat. Misalnya:
Saya
akan membeli rumah itu. seharusnya Akan saya beli rumah itu.
d.
Penghilangan
kata oleh dalam klausa pasif
Klausa
pasif
adalah klausa yang salah satu ciri-cirinya
adalah menggunakan kata oleh..
Misalnya:
Roman
Tenggelamnya Kapal Tanpomas dibaca Rina.
seharusnya
Roman Tenggelamnya Kapal
Tanpo Mas dibaca oleh Rina.
e.
Penghilangan
kata kerja dalam klausa intranstif
Klausa intransitif, yakni klausa
yang predikatnya dari kata
kerja intransitif. Namun kata kerja tersebut tidak masukkan dalam kalimat, misalnya /Ibu ke
Makassar/. Klausa intranstif tersebut tidak jelas
predikatnya; klausa tersebut bukan tergolong klausa yang benar. Oleh karena itu, klausa itu perlu diperbaiki menjadi Ibu
pergi ke Makassar.
3. Bidang kalimat
a. Penyusunan kalimat yang terpengaruh
pada struktur bahasa daerah
Berbahasa
Indonesia dalam situasi resmi kadang-kadang tidak disadari menerapkan struktur
bahasa daerah. Seperti:
Amin
pergi kerumahnya Rudy. Diperbaiki menjadi: Amin pergi ke rumah Rudy.
b. Kalimat
yang tidak bersubjek karena terdapat preposisi di awal
Dalam
situasi resmi, terkadang kita menggunakan kalimat yang tidak bersubjek karena
adanya kata penghubung seperti dalam, pada, untuk, kepada diletakkan di
awal kalimat.
Sehingga, kalimat tersebut
menjadi tidak bersubjek. Misalnya: Dalam pertemuan
itu membahas berbagai persoalan. seharusnya Pertemuan itu membahas berbagai
persoalan.
c. Penggunaan
subjek yang berlebihan
Biasa
kita mendengar kalimat Choco
membeli ikan ketika Choco
akan makan malam. Kalimat tersebut menggunakan dua
subjek yang sama. Semestinya
subjek kedua dihilangkan dan hal itu tidak mempengaruhi makna kalimat. Kalimat tersebut dapat diperbaiki menjadi Choco membeli ikan ketika
akan makan malam.
d. Penggunan
kata penghubung secara ganda pada kalimat majemuk
Dalam
kalimat majemuk setara berlawanan,
kadang-kadang ada yang
menggunakan dua kata penghubung sekaligus. Penggunaan kata penghubung yang ganda dalam suatu
kalimat perlu dihindari. Semestinya
hanya satu kata penghubung.
Misalnya: Meskipun sedang
sakit kepala, namun Alimuddin tetap pergi ke sekolah. seharusnya Meskipun sedang sakit kepala,
Alimuddin tetap
pergi ke sekolah.
e. Penggunaan
kalimat yang tidak logis
Buku
itu membahas peningkatan mutu pendidkan di Sekolah Dasar.
Kalimat tersebut tidak logis karena tidak mungkin buku mempunyai
kemampuan membahas peningkatan mutu pendidikan SD. Oleh karena itu, kalimat tersebut
perlu diperbaiki menjadi Dalam
buku itu dibahas tentang peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar.
f. Pengunaan
kata penghubung berpasangan secara tidak tepat
Kata
penghubung berpasangan yang berfungsi menafikan suatu hal terdiri atas bukan
berpasangan melainkan untuk menafikkan ”benda” dan kata penghubung bukan
berpasangan tetapi untuk menafikkan ”peristiwa atau kerja”. Misalnya: Dia bukan perampok tetapi pengemis. seharusnya Dia bukan perampok melainkan pengemis.
g. Penyusunan
kalimat yang terpengaruh pada struktur bahasa asing
Kata di mana, yang
mana, dengan siapa, adalah kata-kata yang lazim
digunakan dalam membuat kalimat tanya. Kata-kata tersebut bila digunakan di tengah kalimat yang
fungsinya bukan menanyakan sesuatu
merupakan pengaruh bahasa asing.
Misalnya: Rumah di mana dia bermalam dekat
dari pasar. seharusnya Rumah tempat dia
bermalam dekat dari pasar.
h. Penggunaan
kalimat yang tidak padu
Kalimat
yang digunakan kadang-kadang kurang padu karena kesalahan struktur kata yang
kurang tepat sehingga maknanya agak kabur. Misalnya: Yang menjadi sebab
rusaknya hutan adalah perladangan liar. seharusnya Penyebab rusaknya hutan adalah
perladangan liar.
i.
Penyusunan
kalimat yang mubazir
Kalimat
yang mubazir biasanya disebabkan penggunaan kata-kata yang berulang secara berlebihan,
penggunaan dua kata yang relatif
sama
maknanya. Misalnya: Dalam
konsep pedidikan yang disusunnya banyak terdapatberbagai kesalahan. seharusnya Dalam konsep pendidikan
yang disusunnya terdapat banyak
kesalahan.
F. Analisis Kesalahan Semantik
Semantik adalah salah satu cabang
ilmu bahasa yang menyelidiki seluk beluk makna suatu kata dan perkembangan maknanya
secara berkesinambungan. Badudu (1982) Tarigan dan Sulistyaningsih
(1979) mengemukakan kesalahan berbahasa yang mungkin terjadi di bidang
semantik, adalah seperti berikut:
1. Adanya
penerapan gejala hiperkoret
Gejala
hiperkoret adalah suatu bentuk yang sudah betul lalu dibetul-betulkan ahli, akhirnya menjadi salah.
a. /sy/ diganti dengan /s/
atau sebaliknya
Syarat
dijadikan
sarat ’ atau sebaliknya, padahal kedua kata itu masing-masing mempunyai
arti yang berbeda. Syarat‘ketentuan/aturan’ sarat ‘penuh’.
Contoh dalam kalimat:
1) Kita harus mengikuti syarat itu.
2) Perahu itu sarat muatan.
Syah
dijadikan
sah atau sebaliknya,
padahal
kedua kata tersebut
masing-masing mempunyai makna yang berbeda. Syah ‘raja’sedangkan sah ’sesuai
dengan aturan’. Jadi, tak dapat dipertukarkan penggunaannya. Contoh:
1)
Tahun depan akan
dinobatkan sebagai Syah Iran.
2) Belum sah sebagai
mahasiswa S1.
b.
/E/ diganti /e/
Kata
dekan diganti menjadi dEkan, padahal kedua kata itu berbeda
maknanya, dEkan ‘pimpinan fakultas’, sedang dekan ‘ulat’. Contoh:
1) Adikku menjadi dEkan FIP UNM.
2) Pepaya itu banyak dekannya.
2. Gejala
pleonasme
Yang
dimaksudkan gejalan pleonasme adalah suatu penggunaan unsur-unsur bahasa
secara berlebihan, Misalnya:
Lukisanmu sangat indah
sekali. Seharusnya: Lukisanmu sangat indah atau
indah sekali.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Kesalahan dalam berbahasa dapat terjadi
dalam 4 tataran yang berbeda, di antaranya dalam tataran fonologi, morfologi,
semantik, dan sintaksis. Dan
masing-masing memiliki spesifikasi kesalahan yang berbeda-beda.
B. Saran
Sebagai
seorang warganegara yang baik, sebaiknya kita menggunakan bahasa yang baik dan
benar dalam kehidupan kita sehari-hari sesuai dengan tatanan bahasa yang telah
disepakati bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer,
Abdul. 2007. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta
: Bineka Cipta
Chaer,
Abdul. 2009. Gramatika Bahasa Indonesia. Jakarta
: Bineka Cipta
Chaer,
Abdul. 1993. Linguistik Umum. Jakarta
: Bineka Cipta
Indihadi, Dian. Analisis Kesalahan Berbahasa.2009. Bandung : Direktori Universitas
Pendidikan Indonesia
M.Faisal, dkk. 2009. Kajian Bahasa Indonesia SD 3 SKS. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Muslich,
Masnur. 2007. Tata Bentuk Bahasa
Indonesia Kajian ke Arah Tata Bahasa. Malang : Bumi Angkara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar